Pendidikan Islam dan Multikultural: Merajut Jalan Damai di Tengah Perbedaan

Pendidikan Islam dan Multikultural

Pekalongan Media - Keberagaman adalah kenyataan yang tidak terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia, termasuk di lingkungan sekolah. Di satu sisi, perbedaan suku, agama, bahasa, dan budaya menjadi kekayaan yang patut disyukuri. Namun di sisi lain, jika tidak dikelola dengan bijak, perbedaan ini bisa berubah menjadi sumber konflik identitas. Dalam konteks inilah pendidikan multikultural menjadi semakin relevan, terlebih jika dikaitkan dengan pendidikan Islam yang sejak awal mengajarkan nilai rahmatan lil ‘alamin, toleransi, dan keadilan sosial.

Pendidikan Islam sejatinya memiliki landasan kuat dalam membangun sikap inklusif dan menghargai perbedaan. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal, bukan saling meniadakan. Nilai ini sejalan dengan konsep pendidikan multikultural yang memandang keberagaman sebagai potensi positif untuk membentuk karakter peserta didik yang toleran dan berakhlak mulia. 

Menurut Yaqin, pendidikan multikultural memanfaatkan perbedaan latar belakang peserta didik sebagai modal untuk menciptakan pembelajaran yang lebih efektif dan bermakna. Dalam pendidikan Islam, pendekatan ini dapat diintegrasikan melalui materi akidah akhlak, fikih, maupun sejarah kebudayaan Islam yang menekankan nilai persaudaraan, keadilan, dan penghormatan terhadap manusia.

Penelitian Damayanti dkk. (2023) menunjukkan bahwa internalisasi nilai keberagaman sejak usia dini mampu mencegah konflik sosial antarsiswa. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yang tidak hanya membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga membangun karakter dan spiritualitas peserta didik. Melalui pendidikan Islam berbasis multikultural, siswa tidak hanya diajarkan tentang perbedaan, tetapi juga dibimbing untuk memaknainya sebagai bagian dari sunnatullah yang harus disikapi dengan sikap bijak dan penuh empati.

Kasus-kasus intoleransi di sekolah, seperti yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang tahun 2021 menjadi sorotan publik. Seorang siswa non-Muslim bernama Jeni Cahyani Hia mendapat tekanan dari pihak sekolah agar memakai jilbab, meskipun ia menyatakan bahwa agamanya bukan Islam. Kasus serupa juga terjadi pada seorang siswi berinisial B di SDN Jomin Barat II, Cikampek, Karawang, yang mengalami perundungan karena berasal dari keluarga Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa . Ia dipaksa memakai jilbab oleh pihak sekolah dan tetap menjadi korban intimidasi hingga mengalami pendarahan pada bagian hidung. 

Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam yang sejati belum sepenuhnya terinternalisasi dalam praktik pendidikan. Padahal, pendidikan Islam seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama dan setiap individu berhak menjalankan keyakinannya dengan aman dan bermartabat.

Untuk itu, pendidikan Islam perlu berperan aktif dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural secara konkret. Integrasi nilai toleransi dapat dilakukan melalui kurikulum PAI yang kontekstual, misalnya dengan menghadirkan dialog lintas agama, studi kasus keberagaman, serta pembelajaran yang menekankan prinsip ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Selain itu, sekolah perlu memperkuat kebijakan anti-diskriminasi yang selaras dengan nilai-nilai Islam tentang keadilan dan kasih sayang.

Peran guru PAI juga sangat strategis sebagai teladan dalam bersikap moderat dan inklusif. Guru yang memahami multikulturalisme akan mampu membimbing siswa untuk tidak memandang perbedaan sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk belajar dan memperluas wawasan. Kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat pun menjadi penting agar nilai toleransi tidak berhenti di ruang kelas, tetapi hidup dalam keseharian peserta didik. 

Dengan demikian, pendidikan multikultural dalam perspektif pendidikan Islam bukan hanya memperkuat upaya pencegahan konflik identitas, tetapi juga menghidupkan kembali esensi ajaran Islam sebagai agama yang membawa kedamaian, keadilan, dan persaudaraan. Jika diterapkan secara konsisten, pendidikan Islam berbasis multikultural dapat menjadi fondasi kokoh dalam membangun generasi yang religius, humanis, dan mampu merawat keberagaman sebagai rahmat, bukan sumber perpecahan.

Penulis : Rohmatunni'mah | Mahasiswa di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

Referensi

BBC News. (2021). Wajib jilbab bagi siswi non-Muslim di Padang: “Sekolah negeri cenderung gagal terapkan kebhinekaan.” BBC News. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55806826

Damayanti, I. F., Dewantoro, B., & Usman, E. W. (2023). Upaya Penguatan Pendidikan Multikultural Dalam Menghadapi Konflik Sosial. Al-Kautsar, 01(1), 57–63.

Hasan, H. (2023). KASUS PERUNDUNGAN DAN INTOLERANSI DI SDN JOMIN BARAT II: CEGAH MENGUATNYA EKOSISTEM INTOLERANSI DI DUNIA PENDIDIKAN. Siaran Pers SETARA Institute. https://setara-institute.org/kasus-perundungan-dan-intoleransi-di-sdn-jomin-barat-ii-cegah-menguatnya-ekosistem-intoleransi-di-dunia-pendidikan/

Jamila, W. B., & Prasetiya, B. (2023). Peran Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Pengembangan Sikap Toleransi Beragama Berbasis Pluralisme di SMP Negeri 1 dan 2 Kota Probolinggo. Jurnal Pendidikan DanKonseling, 5(2), 169–183.

Yaqin, A., & Multikultural, M. P. (2005). Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan: Yogyakarta: Pilar Media


Belum ada Komentar

Posting Komentar

Terima Kasih telah berkunjung ke Pekalongan Media.com, kantor berita Pekalongan. Silahkan tinggalkan komentar anda terkait artikel maupun berita yang baru saja dibaca. Redaksi kami menerima kiriman berita, artikel atau informasi lainnya. Silahkan hubungi kontak kami

Iklan Atas Artikel

yamaha

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel