Tradisi Selametan Wujud Rasa Syukur Kepada Tuhan dan Bentuk Moderasi Masyarakat di Jawa

 

tulisan mahasiswa UIN Gusdur Pekalongan


Penulis : Lulu Izzati Rohmaniyah
Mahasiswa UIN K.H. Abadurrahman Wahid

Pekalongan Media Sebagai salah satu suku bangsa terbesar yang dimiliki Indonesia, Suku Jawa mempunyai budaya dan tradisi yang sangat menarik, salah satunya Tradisi Selamatan. Menjadi menarik karena di dalam tradisi tersebut terdapat pencampuran dan keterkaitan antara tradisi, budaya lokal, serta agama. Tradisi Selametan adalah tradisi turun-temurun yang dimiliki oleh suku Jawa, terutama Provinsi Jawa Tengah. Tradisi Slametan menjadi salah satu praktik ritual keagamaan yang berkaitan erat dengan Masyarakat muslim di sana. Slametan sendiri berasal dari kata slamet atau selamat, yang maksudnya adalah keselamatan hidup dan dijauhkan dari musibah serta bala.

Dalam masyarakat Islam Jawa, Slametan merupakan salah satu praktik yang dianggap sebagai ritual keagamaan. Penyelenggaraan upacara slametan didorong oleh keyakinan pribadi bahkan bisa berkembang hingga menjadi praktik rutin dalam tradisi keagamaan. Pemikiran bahwa “selametan” dan tahlilan yang dilakukan oleh umat Islam tertentu merupakan kecenderungan adat dan budaya Hindu-Buddha  yang tidak dapat dipercaya dan tidak berangkat dari praktik Islam adalah salah.

Tentu saja, Islam sebagai agama tidak pernah berdiri sendiri karena terhubung dengan tradisi dan budaya agama lain yang sudah ada jauh sebelum Islam. Oleh karena itu, Islam tidak meniadakan, menghancurkan, bahkan memberantas agama-agama terdahulu; sebaliknya, itu "menyempurnakan" mereka. Shalat, puasa, haji, dan berbagai ritual lainnya terus menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan tradisi Islam, inilah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam momentum "Haji Perpisahan" ketika dirinya berkhutbah dengan membacakan ayat Al-Quran, "pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku" (QS. Al-Maidah:3).

UIN Pekalongan

Kebiasaan "selametan" ini jelas tidak unik, mengingat kata "selamat" dan "aman" diambil dari arti penting "Islam" itu sendiri, tepatnya "selamat", "harmoni", dan "kesejahteraan". Setiap agama, termasuk Islam, memiliki teologi keselamatan yang dianut secara universal oleh pemeluknya. Teologi ini berpendapat bahwa jika Anda mengikuti suatu agama, Anda secara alami akan "diselamatkan", dan bahwa pada titik tertentu ketika anda mengikuti suatu agama berarti anda memberikan "keselamatan" bagi diri sendiri dan orang lain.

Selanjutnya, gagasan di balik filosofi "selametan" adalah bahwa orang yang mengadakan slametan tidak akan menyesali kematiannya, dan praktik tradisional seperti memberi makan orang lain untuk sedekah, mengumpulkan orang lain, dan berdoa adalah contohnya. Dalam Alquran, seseorang mengungkapkan penyesalan bahwa ia tidak "selamat" dikarenakan tidak memberi sedekah dan memberi makan orang lain sepanjang hidupnya. Nabi Muhammad juga jelas memiliki kehendak untuk menyebarkan salam dan membiasakan diri dengan kegiatan yang mengundang “keselamatan” yang diikuti dengan “makan” atau sedekah. "Menyebarkan salam atau keselamatan (afsyu as-salaam)" dan "dan memberi atau memberi sedekah dan makan (ath'imu ath-tho'am)".

Terakhir, tentang perhitungan hari-hari tertentu dalam tahlilan, seperti hari ketiga, ketujuh, keempat puluh delapan, dan keseratus, dianggap sebagai milik tradisi atau kepercayaan agama lain yang sama sekali tidak berasal dari tradisi Islam. Kita sebagai umat harus melihat fakta bahwa banyak ayat dalam Al-Qur'an menyatakan perhitungan, terlepas dari berapa lama alam semesta diciptakan, jumlah bulan dihitung, jumlah lapisan di langit dan bumi, dan banyak angka lainnya. Bahkan Rasulullah pernah bersabda, ketika ruh seseorang meninggalkan jasadnya selama tiga hari, ia berkata, "Wahai Tuhanku, biarkan aku pergi melihat jasadku di mana tempatnya." Maka Tuhan memberinya izin dan mengawasi tubuhnya.

UIN Gusdur Pekalongan

Hampir setiap peristiwa kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dll dirayakan selama upacara slametan ini. Di wilayah Padusunan Jawa, ritual slametan merupakan bagian dari kehidupan hampir setiap hari, bahkan beberapa orang percaya bahwa keselamatan adalah kebutuhan spiritual yang diperlukan, dan jika diabaikan, ketidakbahagiaan atau kecelakaan akan terjadi. Ritual slametan dianggap penting di kalangan komunitas masyarakat Jawa dan telah dipandang sebagai ritual sinkretis dari Islam dan tradisi Kejawen Hindu-Buddha, serta sudah mentradisi di masyarakat Jawa.

Slametan juga selalu dinaungi dengan berbagai uborampe atau tepatnya dinamakan sesaji, sesajen yang melingkupinya. Sesaji yang melingkupi ritual selamatan merupakan bahasa yang mempunyai makna. Makna dalam sesaji dalam ritual slametan meruapakan simbol yang menkadi ekspresi untuk menuangkan pengalaman religius. Simbol-simbol ritual ini hanyalah merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari penghaya tan dan pemahaman akan “realitas yang tak terjangkau” sehingga menjadi “yang sangat dekat”, dan simbol-simbol tersebut diartikan dalam konteks Islam yaitu sebagai Allah selalu hadir dan selalu terlibat dalam dirinya.

Keunikan Selametan Masyarakat Adat Jawa dengan Luar Jawa

Keunikan yang dimiliki oleh tradisi slametan ialah kebertahanannya hingga saat ini. Slametan ini masih hadir pada semua acara penting yang melibatkan masyarakat, keluarga, tetangga, dan kerabat seperti acara pernikahan, kelahiran, dan kematian, lalu, tradisi seperti lulus kuliah, khitanan, rumah baru, perayaan ulang tahun, dan pencapain prestasi juga masih sangat lekat dengan masyarakat zaman ini. Selain itu, tradisi ini juga masih bergandengan erat dengan kebiasaan dan acara umat islam seperti perayaan maulid nabi.

Yang membedakan selametan adat jawa dengan adat daerah lain adalah jenisnya. Seperti pada saat kematian, Jenis upacara ritual selamatan yang biasa dilakukan masyarakat Jawa terkait dengan kematian ada 8 (delapan) macam yang pokok, yaitu surtanah, telung dina, pitung dina, patang puluh dina, satus dina, pendak pisan, pendak pindo, dan sewu dina yang sampai saat ini masih tetap diuri-uri atau dipelihara banyak warga masyarakat Jawa, khususnya di pedesaan.

Secara garis besar, tradisi selamatan kematian adalah bentuk pemujaan roh orang yang telah meninggal dengan harapan tetap teljadi hubungan yang "harmonis" antara warga masyarakat yang masih hidup dan roh-roh orang yang telah meninggal. Tradisi ini didukung baik oleh masyarakat Jawa pedesaan yang masih tradisional, Jawa transisi yang sedang berubah ke arah masyarakat kota, maupun oleh sebagian masyarakat Jawa perkotaan yang telah mengenyam pendidikan tinggi.

Selain tradisi kematian tersebut, ada juga tradisi seperti, wiwit untuk menyambut tradisi selamatan menyambut musim panen, udhun-udhunan untuk selametan menyambut lebaran, tedak siten untuk menyelamatkan anak ketika mulai diturunkan atau ditapakkan ke tanah, mitoni untuk selametan hamil tujuh bulan, nyepasari untuk bayi berumur 5 hari, dan masih banyak tradisi-tradisi lainnya. Berbagai macam upacara serta tradisi tersebut bisa dibilang bersifat otentik karena hanya dimiliki oleh masyarakat adat Jawa dan tidak dimiliki oleh masyarakat adat lain seperti Sunda ataupun Madura.

Maka dari itu, kita sebagai masyarakat yang diharuskan menjunjung tinggi rasa toleransi serta moderasi beragama harus tetap menghargai perbedaan yang terjadi pada adat istiadat serta agama yang kita anut. Tradisi selamatan menjadi salah satu contoh nyata dimana jika sifat toleransi serta moderasi beragama dijunjung tinggi, maka nantinya akan membentuk dari kejauhan. Jiwa memohon kepada Tuhan untuk mengizinkannya kembali kepada Tuhannya setelah lima hari sehingga ia dapat melihat tubuhnya sekali lagi. Agar kami dapat mengamati tubuhnya, roh tersebut membuat permintaan yang sama lagi setelah tujuh hari. 

penulis mahasiswa UIN gusdur pekalongan

Sejarah Tradisi Selametan

Pada mulanya acara selametan ini bersumber dari kepercayaan animisme, dinamisme, serta kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu memiliki roh atau kekuatan tertentu. Dari sini terciptalah percampuran atau akulturasi antara agama pendatang dengan kepercayaan nenek moyang. Dalam hal ini, ritual selamatan adalah salah satu tradisi hasil akulturasi budaya yang masih tetap dilestarikan hingga saat ini.

Karena tujuan utama ritual ini adalah keselamatan, tradisi selamatan dalam praktiknya dilakukan hampir di setiap kejadian yang dianggap penting oleh masyarakat jawa, mulai dari kelahiran (brokohan, sepasaran, selapanan, setahunan) upacara perkawinan, masa kehamilan sampai kematian. Dalam prakteknya, selamatan atau syukuran dilakukan dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga. Secara tradisional acara syukuran dimulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk dan kemuadian di lanjutkan dengan menikmati nasi tumpeng tersebut secara bersama – sama.

Tradisi Slametan juga muncul sebagai hasil dari pemujaan leluhur untuk menghormati roh masa lalu. Untuk mengungkapkan rasa terima kasih dan kekaguman, berbagai pujian dan persembahanpun dilakukan. Gagasan ini sudah ada sejak lama sebelum agama Hindu dan Buddha muncul. Artinya keyakinan ini benar adanya dan bukan didatangkan dari luar Jawa. Ketika agama Hindu-Buddha mulai masuk, mereka mulai mengenal agama dan mulai mempengaruhi kerangka keyakinan.

Ibadah tersebut tidak sirna, namun terjadi hubungan dan perubahan dan ternyata semakin kokoh terjalin, karena kedekatan antara keyakinan pertama dengan agama Hindu-Buddha, terjadilah pertukaran di antara mereka dengan tujuan perubahan itu. Wacana yang terjadi adalah bahwa keyakinan pertama belum terhapus namun malah menemukan struktur dan menelusuri tempatnya untuk perbaikan keyakinan tersebut. Bentuk perubahannya adalah memberikan gagasan lain dengan mengubah kepercayaan individu terhadap kekuatan benda dan roh terhadap sosok tertentu, khususnya sang penguasa. Raja dipahami olehnya sebagai penjelmaan dewa.

Tahapan ketiga adalah kemajuan besar Islam yang dibarengi dengan berlalunya masa Walisongo Dengan Islam berbasis tasawuf yang ditransformasikan dan dirumuskannya. Oleh karena itu, secara paradigmatik, perubahan mendasar yang dibawa oleh Jawa sangat signifikan. Cara yang ditempuh adalah dialog damai, transformasi, dan penerimaan. Tradisi Hindu-Jawa belum sepenuhnya hancur di bawah pengaruh budaya Islam sejak Islam masuk ke Jawa; sebaliknya, hal itu malah membuat terjadinya interaksi atau kontak antar budaya.

Hal ini dikuatkan oleh Prof. Dr. Endang dalam pidato pengukuhan Guru Besar, 2009 yang menyatakan bahwa peradaban Islam telah mempengaruhi pandangan hidup orang Jawa sejak kesultanan Demak mengambil alih kekuasaan Majapahit. Terpecahnya Majapahit menandai awal peralihan dari Hindu ke Islam sebagai sebuah peradaban. Pendekatan kultural para wali yang sarat dengan simbol-simbol budaya lokal memastikan proses Islamisasi di Jawa berjalan tanpa gejolak psikologis dan sosial.

Hampir setiap peristiwa kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dll dirayakan selama upacara slametan ini. Di wilayah Padusunan Jawa, ritual slametan merupakan bagian dari kehidupan hampir setiap hari, bahkan beberapa orang percaya bahwa keselamatan adalah kebutuhan spiritual yang diperlukan, dan jika diabaikan, ketidakbahagiaan atau kecelakaan akan terjadi. Ritual slametan dianggap penting di kalangan komunitas masyarakat Jawa dan telah dipandang sebagai ritual sinkretis dari Islam dan tradisi Kejawen Hindu-Buddha, serta sudah mentradisi di masyarakat Jawa.

Slametan juga selalu dinaungi dengan berbagai uborampe atau tepatnya dinamakan sesaji, sesajen yang melingkupinya. Sesaji yang melingkupi ritual selamatan merupakan bahasa yang mempunyai makna. Makna dalam sesaji dalam ritual slametan meruapakan simbol yang menkadi ekspresi untuk menuangkan pengalaman religius. Simbol-simbol ritual ini hanyalah merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari penghaya tan dan pemahaman akan “realitas yang tak terjangkau” sehingga menjadi “yang sangat dekat”, dan simbol-simbol tersebut diartikan dalam konteks Islam yaitu sebagai Allah selalu hadir dan selalu terlibat dalam dirinya.

Keunikan Selametan Masyarakat Adat Jawa dengan Luar Jawa

Keunikan yang dimiliki oleh tradisi slametan ialah kebertahanannya hingga saat ini. Slametan ini masih hadir pada semua acara penting yang melibatkan masyarakat, keluarga, tetangga, dan kerabat seperti acara pernikahan, kelahiran, dan kematian, lalu, tradisi seperti lulus kuliah, khitanan, rumah baru, perayaan ulang tahun, dan pencapain prestasi juga masih sangat lekat dengan masyarakat zaman ini. Selain itu, tradisi ini juga masih bergandengan erat dengan kebiasaan dan acara umat islam seperti perayaan maulid nabi.

Yang membedakan selametan adat jawa dengan adat daerah lain adalah jenisnya. Seperti pada saat kematian, Jenis upacara ritual selamatan yang biasa dilakukan masyarakat Jawa terkait dengan kematian ada 8 (delapan) macam yang pokok, yaitu surtanah, telung dina, pitung dina, patang puluh dina, satus dina, pendak pisan, pendak pindo, dan sewu dina yang sampai saat ini masih tetap diuri-uri atau dipelihara banyak warga masyarakat Jawa, khususnya di pedesaan.

Secara garis besar, tradisi selamatan kematian adalah bentuk pemujaan roh orang yang telah meninggal dengan harapan tetap teljadi hubungan yang "harmonis" antara warga masyarakat yang masih hidup dan roh-roh orang yang telah meninggal. Tradisi ini didukung baik oleh masyarakat Jawa pedesaan yang masih tradisional, Jawa transisi yang sedang berubah ke arah masyarakat kota, maupun oleh sebagian masyarakat Jawa perkotaan yang telah mengenyam pendidikan tinggi.

Selain tradisi kematian tersebut, ada juga tradisi seperti, wiwit untuk menyambut tradisi selamatan menyambut musim panen, udhun-udhunan untuk selametan menyambut lebaran, tedak siten untuk menyelamatkan anak ketika mulai diturunkan atau ditapakkan ke tanah, mitoni untuk selametan hamil tujuh bulan, nyepasari untuk bayi berumur 5 hari, dan masih banyak tradisi-tradisi lainnya. Berbagai macam upacara serta tradisi tersebut bisa dibilang bersifat otentik karena hanya dimiliki oleh masyarakat adat Jawa dan tidak dimiliki oleh masyarakat adat lain seperti Sunda ataupun Madura.

Maka dari itu, kita sebagai masyarakat yang diharuskan menjunjung tinggi rasa toleransi serta moderasi beragama harus tetap menghargai perbedaan yang terjadi pada adat istiadat serta agama yang kita anut. Tradisi selamatan menjadi salah satu contoh nyata dimana jika sifat toleransi serta moderasi beragama dijunjung tinggi, maka nantinya akan membentuk keselarasan dalam berkehidupan antara umat berbudaya dengan umat beragama yang damai, tenang, dan berharmonisasi.

 

Sumber:

Bakesbangpoldagri Kabupaten Madiun. 2020. “ Upacara Selamatan-Tradisi Ritual dalam Mayarakat Jawa”. https://kesbangpol.madiunkab.go.id/upacara-selamatan-tradisi-ritual-dalam-masyarakat-jawa/. Diakses tanggal 16 Mei Pukul 10.00Wib.

Dewi Nur Halima. 2020. “Islam dan Budaya Jawa”. https://syariah.uinsaid.ac.id/islam-dan-budaya-jawa/. Diakses tanggal 16 Mei 2023 Pukul 13.00Wib.

Dinas Kebudayaan DIY. 2014. “Upacara Selamatan di Yogyakarta”. Yogyakarta. https://budaya.jogjaprov.go.id/artikel/detail/318-upacara--selamatan-di--yogyakarta. Diakses tanggal 16 Mei 2023 Pukul 17.00Wib.

Rahwiku Maharani. 2023. “Mengenal Macam-macam Tradisi Selametan yang dilakukan oleh Masyarakat Jawa”. https://adjar.grid.id/read/543750963/mengenal-macam-macam-tradisi-slametan-yang-dilakukan-oleh-masyarakat-jawa?page=all. Diakses tanggal 20 Mei 2023 Pukul 11.00Wib.

Fatkur Rohman. 2018. “Slametan: Perkembangannya dalam Masyarakat Islam-Jawa di Era Milenial”. Tulungagung:  Jurnal IKADBUDI, Agustus, VII.

Shofiatul Qolbi. 2020. "Persepsi Masyarakat Terhadap Tradisi Selamatan Pada Akhir Ramadhan (Studi Living Hadis di Desa Poncogati , Kecamatan Curahdami , Kabupaten Bondowoso)”. Skripsi: Institut Agama Islam Negeri Jember.

Belum ada Komentar

Posting Komentar

Terima Kasih telah berkunjung ke Pekalongan Media.com, kantor berita Pekalongan. Silahkan tinggalkan komentar anda terkait artikel maupun berita yang baru saja dibaca. Redaksi kami menerima kiriman berita, artikel atau informasi lainnya. Silahkan hubungi kontak kami

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

iklan pekalongan media