Tradisi Selametan Wujud Rasa Syukur Kepada Tuhan dan Bentuk Moderasi Masyarakat di Jawa
Penulis : Lulu Izzati Rohmaniyah
Dalam masyarakat
Islam Jawa, Slametan merupakan salah satu praktik yang dianggap sebagai ritual
keagamaan. Penyelenggaraan upacara slametan didorong oleh keyakinan pribadi bahkan
bisa berkembang hingga menjadi praktik rutin dalam tradisi keagamaan. Pemikiran bahwa “selametan” dan tahlilan yang
dilakukan oleh umat Islam tertentu merupakan kecenderungan adat dan budaya
Hindu-Buddha yang tidak dapat dipercaya dan tidak berangkat dari
praktik Islam adalah salah.
Tentu saja, Islam sebagai agama
tidak pernah berdiri sendiri karena terhubung dengan tradisi dan budaya agama
lain yang sudah ada jauh sebelum Islam. Oleh karena itu, Islam tidak
meniadakan, menghancurkan, bahkan memberantas agama-agama terdahulu;
sebaliknya, itu "menyempurnakan" mereka. Shalat, puasa, haji, dan
berbagai ritual lainnya terus menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan
tradisi Islam, inilah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam momentum "Haji
Perpisahan" ketika dirinya berkhutbah dengan membacakan ayat Al-Quran,
"pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku" (QS. Al-Maidah:3).
Kebiasaan "selametan" ini jelas tidak unik,
mengingat kata "selamat" dan "aman" diambil dari arti
penting "Islam" itu sendiri, tepatnya "selamat",
"harmoni", dan "kesejahteraan". Setiap agama, termasuk
Islam, memiliki teologi keselamatan yang dianut secara universal oleh
pemeluknya. Teologi ini berpendapat bahwa jika Anda mengikuti suatu agama, Anda
secara alami akan "diselamatkan", dan bahwa pada titik tertentu
ketika anda mengikuti suatu agama berarti anda memberikan
"keselamatan" bagi diri sendiri dan orang lain.
Selanjutnya, gagasan di balik filosofi
"selametan" adalah bahwa orang yang mengadakan slametan tidak akan
menyesali kematiannya, dan praktik tradisional seperti memberi makan orang lain
untuk sedekah, mengumpulkan orang lain, dan berdoa adalah contohnya. Dalam
Alquran, seseorang mengungkapkan penyesalan bahwa ia tidak "selamat" dikarenakan tidak memberi sedekah dan memberi makan
orang lain sepanjang hidupnya. Nabi Muhammad juga jelas memiliki kehendak untuk
menyebarkan salam dan membiasakan diri dengan kegiatan yang mengundang
“keselamatan” yang diikuti dengan “makan” atau sedekah. "Menyebarkan salam
atau keselamatan (afsyu as-salaam)" dan "dan memberi atau memberi
sedekah dan makan (ath'imu ath-tho'am)".
Hampir setiap
peristiwa kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dll dirayakan selama
upacara slametan ini. Di wilayah Padusunan Jawa, ritual slametan merupakan
bagian dari kehidupan hampir setiap hari, bahkan beberapa orang percaya bahwa
keselamatan adalah kebutuhan spiritual yang diperlukan, dan jika diabaikan,
ketidakbahagiaan atau kecelakaan akan terjadi. Ritual slametan dianggap penting
di kalangan komunitas masyarakat Jawa dan telah dipandang sebagai ritual
sinkretis dari Islam dan tradisi Kejawen Hindu-Buddha, serta sudah mentradisi
di masyarakat Jawa.
Slametan juga
selalu dinaungi dengan berbagai uborampe atau tepatnya dinamakan sesaji,
sesajen yang melingkupinya. Sesaji yang melingkupi ritual selamatan merupakan
bahasa yang mempunyai makna. Makna dalam sesaji dalam ritual slametan
meruapakan simbol yang menkadi ekspresi untuk menuangkan pengalaman religius. Simbol-simbol
ritual ini hanyalah merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari penghaya tan
dan pemahaman akan “realitas yang tak terjangkau” sehingga menjadi “yang sangat
dekat”, dan simbol-simbol tersebut diartikan dalam konteks Islam yaitu sebagai Allah
selalu hadir dan selalu terlibat dalam dirinya.
Keunikan Selametan
Masyarakat Adat Jawa dengan Luar Jawa
Keunikan yang
dimiliki oleh tradisi slametan ialah kebertahanannya hingga saat ini. Slametan ini masih hadir pada semua acara penting yang
melibatkan masyarakat, keluarga, tetangga, dan kerabat seperti acara pernikahan,
kelahiran, dan kematian, lalu, tradisi seperti lulus kuliah, khitanan, rumah
baru, perayaan ulang tahun, dan pencapain prestasi juga masih sangat lekat
dengan masyarakat zaman ini. Selain itu, tradisi ini juga masih bergandengan
erat dengan kebiasaan dan acara umat islam seperti perayaan maulid nabi.
Yang membedakan
selametan adat jawa dengan adat daerah lain adalah jenisnya. Seperti pada saat
kematian, Jenis
upacara ritual selamatan yang biasa dilakukan masyarakat Jawa terkait dengan
kematian ada 8 (delapan) macam yang pokok, yaitu surtanah, telung dina, pitung
dina, patang puluh dina, satus dina, pendak pisan, pendak pindo, dan sewu dina
yang sampai saat ini masih tetap diuri-uri atau dipelihara banyak warga
masyarakat Jawa, khususnya di pedesaan.
Secara garis
besar, tradisi selamatan kematian adalah bentuk pemujaan roh orang yang telah
meninggal dengan harapan tetap teljadi hubungan yang "harmonis" antara
warga masyarakat yang masih hidup dan roh-roh orang yang telah meninggal. Tradisi
ini didukung baik oleh masyarakat Jawa pedesaan yang masih tradisional, Jawa
transisi yang sedang berubah ke arah masyarakat kota, maupun oleh sebagian
masyarakat Jawa perkotaan yang telah mengenyam pendidikan tinggi.
Selain tradisi
kematian tersebut, ada juga tradisi seperti, wiwit untuk menyambut tradisi
selamatan menyambut musim panen, udhun-udhunan untuk selametan menyambut
lebaran, tedak siten untuk menyelamatkan anak ketika mulai diturunkan atau
ditapakkan ke tanah, mitoni untuk selametan hamil tujuh bulan, nyepasari untuk
bayi berumur 5 hari, dan masih banyak tradisi-tradisi lainnya. Berbagai macam
upacara serta tradisi tersebut bisa dibilang bersifat otentik karena hanya
dimiliki oleh masyarakat adat Jawa dan tidak dimiliki oleh masyarakat adat lain
seperti Sunda ataupun Madura.
Maka dari itu, kita sebagai masyarakat yang diharuskan menjunjung tinggi rasa toleransi serta moderasi beragama harus tetap menghargai perbedaan yang terjadi pada adat istiadat serta agama yang kita anut. Tradisi selamatan menjadi salah satu contoh nyata dimana jika sifat toleransi serta moderasi beragama dijunjung tinggi, maka nantinya akan membentuk dari kejauhan. Jiwa memohon kepada Tuhan untuk mengizinkannya kembali kepada Tuhannya setelah lima hari sehingga ia dapat melihat tubuhnya sekali lagi. Agar kami dapat mengamati tubuhnya, roh tersebut membuat permintaan yang sama lagi setelah tujuh hari.
Sejarah Tradisi Selametan
Pada mulanya acara selametan ini
bersumber dari kepercayaan animisme, dinamisme, serta kepercayaan yang dianut
oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu memiliki
roh atau kekuatan tertentu. Dari
sini terciptalah percampuran atau akulturasi antara agama pendatang dengan
kepercayaan nenek moyang. Dalam hal ini, ritual selamatan adalah salah satu
tradisi hasil akulturasi budaya yang masih tetap dilestarikan hingga saat ini.
Karena tujuan utama ritual ini adalah
keselamatan, tradisi selamatan dalam praktiknya dilakukan hampir di setiap
kejadian yang dianggap penting oleh masyarakat jawa, mulai dari kelahiran (brokohan,
sepasaran, selapanan, setahunan) upacara perkawinan, masa kehamilan sampai
kematian. Dalam prakteknya, selamatan atau syukuran
dilakukan dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga. Secara tradisional
acara syukuran dimulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di atas tikar,
melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk dan kemuadian di lanjutkan dengan
menikmati nasi tumpeng tersebut secara bersama – sama.
Tradisi Slametan juga muncul sebagai hasil dari
pemujaan leluhur untuk menghormati roh
masa lalu. Untuk mengungkapkan
rasa terima kasih dan kekaguman, berbagai pujian dan persembahanpun dilakukan. Gagasan
ini sudah ada sejak lama sebelum agama Hindu dan Buddha muncul. Artinya
keyakinan ini benar adanya dan bukan didatangkan dari luar Jawa. Ketika agama Hindu-Buddha mulai masuk, mereka mulai mengenal agama dan
mulai mempengaruhi kerangka keyakinan.
Ibadah tersebut tidak sirna, namun terjadi hubungan dan perubahan dan
ternyata semakin kokoh terjalin, karena kedekatan antara keyakinan pertama
dengan agama Hindu-Buddha, terjadilah pertukaran di antara mereka dengan tujuan
perubahan itu. Wacana yang terjadi adalah bahwa keyakinan pertama belum
terhapus namun malah menemukan struktur
dan menelusuri tempatnya untuk perbaikan keyakinan tersebut. Bentuk
perubahannya adalah memberikan gagasan lain dengan mengubah kepercayaan
individu terhadap kekuatan benda dan roh terhadap sosok tertentu, khususnya
sang penguasa. Raja dipahami olehnya sebagai penjelmaan dewa.
Tahapan ketiga adalah kemajuan besar Islam yang dibarengi dengan berlalunya
masa Walisongo Dengan Islam berbasis tasawuf yang ditransformasikan dan
dirumuskannya. Oleh karena itu, secara paradigmatik, perubahan mendasar yang
dibawa oleh Jawa sangat signifikan. Cara yang ditempuh adalah dialog damai,
transformasi, dan penerimaan. Tradisi Hindu-Jawa belum sepenuhnya hancur di
bawah pengaruh budaya Islam sejak Islam masuk ke Jawa; sebaliknya, hal itu
malah membuat terjadinya interaksi atau kontak antar budaya.
Hal ini dikuatkan
oleh Prof. Dr. Endang dalam pidato pengukuhan Guru Besar, 2009 yang menyatakan
bahwa peradaban Islam telah mempengaruhi pandangan hidup orang Jawa sejak
kesultanan Demak mengambil alih kekuasaan Majapahit. Terpecahnya Majapahit
menandai awal peralihan dari Hindu ke Islam sebagai sebuah peradaban.
Pendekatan kultural para wali yang sarat dengan simbol-simbol budaya lokal
memastikan proses Islamisasi di Jawa berjalan tanpa gejolak psikologis dan
sosial.
Hampir setiap
peristiwa kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dll dirayakan selama
upacara slametan ini. Di wilayah Padusunan Jawa, ritual slametan merupakan
bagian dari kehidupan hampir setiap hari, bahkan beberapa orang percaya bahwa
keselamatan adalah kebutuhan spiritual yang diperlukan, dan jika diabaikan,
ketidakbahagiaan atau kecelakaan akan terjadi. Ritual slametan dianggap penting
di kalangan komunitas masyarakat Jawa dan telah dipandang sebagai ritual
sinkretis dari Islam dan tradisi Kejawen Hindu-Buddha, serta sudah mentradisi
di masyarakat Jawa.
Slametan juga
selalu dinaungi dengan berbagai uborampe atau tepatnya dinamakan sesaji,
sesajen yang melingkupinya. Sesaji yang melingkupi ritual selamatan merupakan
bahasa yang mempunyai makna. Makna dalam sesaji dalam ritual slametan
meruapakan simbol yang menkadi ekspresi untuk menuangkan pengalaman religius. Simbol-simbol
ritual ini hanyalah merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari penghaya tan
dan pemahaman akan “realitas yang tak terjangkau” sehingga menjadi “yang sangat
dekat”, dan simbol-simbol tersebut diartikan dalam konteks Islam yaitu sebagai Allah
selalu hadir dan selalu terlibat dalam dirinya.
Keunikan Selametan
Masyarakat Adat Jawa dengan Luar Jawa
Keunikan yang
dimiliki oleh tradisi slametan ialah kebertahanannya hingga saat ini. Slametan ini masih hadir pada semua acara penting yang
melibatkan masyarakat, keluarga, tetangga, dan kerabat seperti acara pernikahan,
kelahiran, dan kematian, lalu, tradisi seperti lulus kuliah, khitanan, rumah
baru, perayaan ulang tahun, dan pencapain prestasi juga masih sangat lekat
dengan masyarakat zaman ini. Selain itu, tradisi ini juga masih bergandengan
erat dengan kebiasaan dan acara umat islam seperti perayaan maulid nabi.
Yang membedakan
selametan adat jawa dengan adat daerah lain adalah jenisnya. Seperti pada saat
kematian, Jenis
upacara ritual selamatan yang biasa dilakukan masyarakat Jawa terkait dengan
kematian ada 8 (delapan) macam yang pokok, yaitu surtanah, telung dina, pitung
dina, patang puluh dina, satus dina, pendak pisan, pendak pindo, dan sewu dina
yang sampai saat ini masih tetap diuri-uri atau dipelihara banyak warga
masyarakat Jawa, khususnya di pedesaan.
Secara garis
besar, tradisi selamatan kematian adalah bentuk pemujaan roh orang yang telah
meninggal dengan harapan tetap teljadi hubungan yang "harmonis" antara
warga masyarakat yang masih hidup dan roh-roh orang yang telah meninggal. Tradisi
ini didukung baik oleh masyarakat Jawa pedesaan yang masih tradisional, Jawa
transisi yang sedang berubah ke arah masyarakat kota, maupun oleh sebagian
masyarakat Jawa perkotaan yang telah mengenyam pendidikan tinggi.
Selain tradisi
kematian tersebut, ada juga tradisi seperti, wiwit untuk menyambut tradisi
selamatan menyambut musim panen, udhun-udhunan untuk selametan menyambut
lebaran, tedak siten untuk menyelamatkan anak ketika mulai diturunkan atau
ditapakkan ke tanah, mitoni untuk selametan hamil tujuh bulan, nyepasari untuk
bayi berumur 5 hari, dan masih banyak tradisi-tradisi lainnya. Berbagai macam
upacara serta tradisi tersebut bisa dibilang bersifat otentik karena hanya
dimiliki oleh masyarakat adat Jawa dan tidak dimiliki oleh masyarakat adat lain
seperti Sunda ataupun Madura.
Maka dari itu, kita sebagai masyarakat yang diharuskan menjunjung tinggi rasa toleransi serta moderasi beragama harus tetap menghargai perbedaan yang terjadi pada adat istiadat serta agama yang kita anut. Tradisi selamatan menjadi salah satu contoh nyata dimana jika sifat toleransi serta moderasi beragama dijunjung tinggi, maka nantinya akan membentuk keselarasan dalam berkehidupan antara umat berbudaya dengan umat beragama yang damai, tenang, dan berharmonisasi.
Sumber:
Bakesbangpoldagri Kabupaten Madiun.
2020. “ Upacara Selamatan-Tradisi Ritual dalam Mayarakat Jawa”. https://kesbangpol.madiunkab.go.id/upacara-selamatan-tradisi-ritual-dalam-masyarakat-jawa/. Diakses tanggal 16 Mei Pukul 10.00Wib.
Dewi Nur Halima. 2020. “Islam dan
Budaya Jawa”. https://syariah.uinsaid.ac.id/islam-dan-budaya-jawa/. Diakses tanggal 16
Mei 2023 Pukul 13.00Wib.
Dinas Kebudayaan DIY. 2014. “Upacara
Selamatan di Yogyakarta”. Yogyakarta. https://budaya.jogjaprov.go.id/artikel/detail/318-upacara--selamatan-di--yogyakarta. Diakses tanggal 16
Mei 2023 Pukul 17.00Wib.
Rahwiku Maharani. 2023. “Mengenal
Macam-macam Tradisi Selametan yang dilakukan oleh Masyarakat Jawa”. https://adjar.grid.id/read/543750963/mengenal-macam-macam-tradisi-slametan-yang-dilakukan-oleh-masyarakat-jawa?page=all. Diakses tanggal 20
Mei 2023 Pukul 11.00Wib.
Fatkur Rohman. 2018. “Slametan:
Perkembangannya dalam Masyarakat Islam-Jawa di Era Milenial”. Tulungagung: Jurnal IKADBUDI, Agustus, VII.
Shofiatul Qolbi. 2020. "Persepsi
Masyarakat Terhadap Tradisi Selamatan Pada Akhir Ramadhan (Studi Living Hadis
di Desa Poncogati , Kecamatan Curahdami , Kabupaten Bondowoso)”. Skripsi:
Institut Agama Islam Negeri Jember.
Belum ada Komentar
Posting Komentar