Jejak Perempuan Hebat Nusantara: Dari Nyai Ageng Serang hingga Ibu Agung Siti Ambariyah, Bukti Kesetaraan Gender Telah Ada Sebelum Kartini
Pekalongan Media, Sejarah - Kesetaraan gender di Indonesia bukanlah konsep modern yang baru hadir di era emansipasi Kartini. Dalam buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX karya sejarawan Peter Carey dan Vincent Houben, terungkap bahwa jauh sebelum Kartini, sudah banyak perempuan hebat yang aktif dalam berbagai bidang—dari peperangan, perdagangan, hingga penyebaran agama.
Mereka bukan hanya pelengkap sejarah laki-laki, tapi aktor utama dalam perjuangan dan perubahan sosial. Fakta ini memperkuat narasi bahwa semangat emansipasi perempuan telah hidup dan berkembang jauh sebelum dideklarasikan secara formal.
Baca Juga : Jejak Sejarah Kabupaten Pekalongan: Dari Masa Kerajaan hingga Era Modern
Sosok Perempuan Pejuang: Nyai Ageng Serang dan Raden Ayu Yudokusumo
Dua nama penting yang tercatat dalam sejarah Perang Jawa (1825–1830) adalah Nyai Ageng Serang dan Raden Ayu Yudokusumo. Keduanya tidak hanya menjadi pendukung, tapi juga pejuang aktif dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
- Nyai Ageng Serang: Seorang tokoh perempuan yang memimpin pasukan bersama putranya, Pangeran Serang II. Dalam bulan-bulan pertama Perang Jawa, ia mengorganisir 500 prajurit dan terjun langsung dalam medan tempur di wilayah Serang–Demak.
- Raden Ayu Yudokusumo: Putri dari Sultan pertama yang menjadi salah satu panglima kavaleri senior di pihak Pangeran Diponegoro. Ia memimpin pasukan bersama Tumenggung Sosrodilogo dalam perlawanan sengit melawan Belanda di pesisir utara Jawa antara 28 November 1827 hingga 9 Maret 1828.
Kedua tokoh ini menunjukkan bahwa perempuan Jawa tidak hanya berdiri di balik layar, melainkan juga berperan aktif di garis depan perjuangan kemerdekaan.
Siti Ambariyah: Pejuang Wanita dari Pekalongan yang Terlupakan Sejarah
Dari daerah Pekalongan, kisah Siti Ambariyah menjadi salah satu bukti otentik bahwa semangat kesetaraan gender dan perjuangan perempuan telah tumbuh kuat bahkan sejak abad ke-18.
Baca Juga : Catatan Sejarah Kecelakaan Mobil Pertama di Pekalongan
Siapakah Siti Ambariyah?
Ia adalah putri dari Ki Ageng Rogoselo, seorang ulama dan pejuang spiritual yang juga dikenal sebagai wali di daerah Doro, Kabupaten Pekalongan. Menurut kisah turun-temurun, Ki Penatas Angin—seorang pangeran dari Mataram Islam—pernah dikirim oleh Sultan Agung untuk berguru kepada Ki Ageng Rogoselo. Di sanalah ia bertemu dan jatuh cinta pada Siti Ambariyah.
Namun, Siti Ambariyah menolak lamaran bangsawan itu, memilih jalan perjuangan. Ia memilih untuk menyebarkan syiar Islam, memberikan pendidikan kepada masyarakat, dan turut melawan penjajahan Belanda—khususnya di wilayah Bojong, Pekalongan.
Perjuangannya tidak hanya fisik, namun juga intelektual dan spiritual. Ia dikenang sebagai Ibu Agung Siti Ambariyah, sosok wanita salehah, berwawasan, dan penuh kasih yang mampu menyeimbangkan antara perjuangan dunia dan akhirat.
Haul Tahunan Ibu Agung Siti Ambariyah di Desa Bukur, Bojong
Hingga kini, nama Siti Ambariyah masih dihormati oleh masyarakat Pekalongan. Setiap tahun, masyarakat mengadakan haul atau peringatan wafat beliau di Desa Bukur, Kecamatan Bojong, Kabupaten Pekalongan. Tradisi ini bukan hanya ritual keagamaan, tapi juga bentuk penghormatan atas jasa dan perjuangan beliau dalam menyebarkan ilmu dan mempertahankan martabat bangsa.
Perempuan Nusantara Sudah Setara Jauh Sebelum Modernitas
Kisah Nyai Ageng Serang, Raden Ayu Yudokusumo, dan Ibu Agung Siti Ambariyah membuktikan bahwa kesetaraan gender di Nusantara sudah ada jauh sebelum era Kartini. Mereka adalah bagian dari sejarah panjang perempuan Indonesia yang tidak hanya patut dikenang, tapi juga dijadikan inspirasi bagi generasi muda saat ini.
Penulis : Tim Redaksi Pekalongan media - Editor : Pratiwi
Belum ada Komentar
Posting Komentar