Pemikiran Moderat Sayyid Hossein Nasr Terhadap Pendidikan Agama Islam Berbasis Sains
Pekalongan Media - Islam dalam sejarahnya memiliki perhatian yang begitu besar terhadap pendidikan. Kemajuan yang diperoleh ketika masa masa daulah mulai dari umayyah hingga puncaknya pada masa abbasiyah menunjukan Islam tidak menutup diri terhadap perkembangan dunia pendidikan baik dari segi agama maupun ilmu-ilmu umum.
Perkembangannya yang semakin meluas memunculkan beberapa pandangan pandangan seperti sekulerisme yakni memisahkan agama dari pengetahuan umum. Agama dianggap sebagai satu hal yang berdiri sendiri tanpa perlu sains untuk menjelaskannya. Pandangan pandangan tersebut kemudian mulai mendikotomikan keduanya.
Permasalahan kemudian muncul dalam dua hal, pertama nilai spiritual berbasis agama yang bisa saja ditinggalkan dan kedua, sains tidak diberikan tempat untuk mengembangkannya dalam dunia pendidikan Islam. Menyikapi hal tersebut terdapat tokoh bernama Sayyid Hossein Nasr yang menawarkan pemikiran moderat dalam menyikapi hal tersebut. Sebelum pemikiran Sayyid Hossein Nasr muncul, seorang tokoh barat yaitu Ian G. Barbour telah lebih dulu membahas terkait hubungan sains dan agama. Pembagian tesebut meliputi konflik, independensi, dialog, dan integrasi.
Adanya pemikiran pemikiran tersebut menjadikan Sayyid Hossein Nashr memiliki pandangan yang berusaha menengahi. Dalam pandangannya, ilmu pengetahuan yang ada bermuara pada tujuan yang sama yaitu wujud pengamalan dari ilmu Tuhan. Ia beranggapan sekularisme barat menjadikan sains seperti kehilangan arah, sehingga agama dibutuhkan sebagai pedoman agar ilmu yang dihasilkan memilki kebermanfaatan.
Melalui analisis pemikirian sayyid hossein Nashr, diharapkan pendidikan agama Islam bisa bertransformasi secara adaptif dan moderat terhadap perkembangan ilmu-ilmu umum. Hal ini kemudian dapat dijadikan sebagai sarana memperoleh wawasan keilmuan secara holistic namun tetap berpegang pada nilai nilai religious sebagai pedoman. Dengan demian imu yang dihasilkan dapat bermanfaat.
Pembahasan mengenai pemikiran moderat Sayyid Hossein Nasr terhadap integrasi sains dan Pendidikan Agama Islam tidak dapat dilepaskan dari kerangka filosofis yang menjadi akar seluruh gagasan intelektualnya. Nasr memandang bahwa krisis modernitas yang melanda peradaban Barat dan kemudian menjalar ke dunia Islam bermula dari terputusnya hubungan manusia dengan realitas transenden.
Pandangan Nasr, modernitas yang dibangun atas asas sekularisme, rasionalisme, dan materialisme telah menjadikan sains sebagai disiplin yang bebas nilai (value-free science), padahal dalam tradisi Islam, ilmu tidak pernah dipahami sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu terhubung dengan sumber ilahiah.
Karya utamanya seperti Knowledge and the Sacred serta Religion and the Order of Nature, Nasr berulang kali menegaskan bahwa krisis ekologis, dekadensi moral, dan dehumanisasi manusia modern adalah akibat langsung dari runtuhnya metafisika sakral yang selama berabad-abad menjadi landasan lahirnya peradaban Islam. Oleh karena itu, menurut Nasr, Pendidikan Agama Islam harus kembali pada visi tradisional yang menempatkan ilmu sebagai jalan menuju pengenalan terhadap Tuhan (ma‘rifah), bukan semata-mata alat untuk akumulasi kekuatan material dan teknologi.
Dalam konteks pendidikan, Nasr memandang bahwa dikotomi ilmu agama dan ilmu umum yang muncul dalam dunia Islam modern merupakan bentuk internalisasi cara pandang Barat yang tersekularisasi. Ia menolak keras gagasan bahwa sains modern yang berlandaskan positivisme dapat dianggap netral. Baginya, ilmu modern telah dibangun dalam kerangka epistemologi yang memutus manusia dari realitas metafisik, sehingga pendidikan yang hanya menekankan sains modern tanpa orientasi spiritual akan menghasilkan manusia yang cerdas secara intelektual tetapi miskin secara moral.
Gagasan ini sejalan dengan pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang loss of adab, serta pandangan Ziauddin Sardar tentang perlunya rekonstruksi sains agar selaras dengan nilai-nilai Islam. Namun, berbeda dari al-Attas yang menekankan islamisasi ilmu melalui pembenahan konsep dasar, Nasr lebih fokus pada pengembalian manusia kepada pandangan kosmologis tradisional yang menempatkan alam sebagai kitab Tuhan (ayat-ayat kauniyah) yang harus dibaca dengan kesadaran spiritual.
Kerangka hubungan sains dan agama, dalam pemikiran Nasr dapat diposisikan berdekatan dengan tipologi “integrasi” yang dikemukakan Ian G. Barbour. Barbour menyatakan bahwa agama dan sains dapat dipertemukan pada tataran metodologis maupun filosofis selama keduanya dipahami sebagai jalan untuk membaca realitas yang sama.
Namun, Nasr melangkah lebih jauh dengan menekankan bahwa agama bukan sekadar mitra dialog bagi sains, melainkan fondasi metafisik yang harus membimbing dan mengarahkan perkembangan sains agar tidak terlepas dari nilai-nilai ketuhanan. Di sinilah letak moderasi Nasr: ia tidak menolak sains modern secara total seperti sebagian kelompok fundamentalis, tetapi juga tidak menerimanya tanpa kritik seperti sebagian kaum modernis. Ia memilih posisi tengah yang mengakui manfaat sains modern, tetapi mengingatkan bahwa sains harus dipandu oleh etos spiritual yang berakar pada tradisi agama.
Dalam Pendidikan Agama Islam, pendekatan moderat Nasr dapat diterapkan melalui penyusunan kurikulum yang tidak memisahkan penguasaan ilmu pengetahuan dari pembentukan karakter spiritual. Pendidikan sains dalam perspektif Nasr harus diarahkan pada pembacaan alam sebagai manifestasi kehadiran Tuhan, sehingga setiap penemuan ilmiah bukan hanya memperluas wawasan, tetapi juga memperdalam ketakwaan. Misalnya, pembelajaran biologi dapat diintegrasikan dengan konsep tauhid rububiyah tentang keteraturan ciptaan, fisika dengan konsep qadha dan qadar terkait hukum-hukum alam, atau ekologi dengan konsep amanah manusia sebagai khalifah.
Pendekatan ini selaras dengan gagasan integrated curriculum yang banyak dikembangkan oleh cendekiawan pendidikan Islam kontemporer, seperti Osman Bakar dan Nidhal Guessoum, meskipun Nasr lebih menekankan dimensi spiritual dan simbolik daripada sains empiris semata. Selain itu, pemikiran Nasr memiliki implikasi penting bagi pembentukan etika ilmiah dalam pendidikan. Ia menekankan bahwa ilmu harus diarahkan pada kemaslahatan dan keberlanjutan kehidupan, bukan pada eksploitasi alam secara destruktif.
Pemikiran ekoteologi Nasr, terutama dalam Man and Nature, sangat relevan dalam dunia pendidikan modern yang menghadapi tantangan krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Pendidikan Agama Islam yang mengintegrasikan nilai-nilai kosmologis ini akan membentuk peserta didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak dalam memperlakukan alam sebagai amanah Tuhan. Dengan demikian, pemikiran moderat Nasr bukan hanya menjawab persoalan dikotomi ilmu, tetapi juga menawarkan paradigma pendidikan yang holistik, integratif, dan transformatif.
Dapat disimpulkan bahwa pemikiran moderat Sayyid Hossein Nasr memberikan kontribusi penting bagi pengembangan Pendidikan Agama Islam yang lebih holistik, integratif, dan berorientasi pada pembentukan manusia paripurna (insan kamil). Paradigma ini menawarkan jalan tengah yang kokoh antara tuntutan kemajuan sains dan kebutuhan akan pembinaan spiritual, sehingga pendidikan tidak terjebak pada sekularisasi yang menafikan nilai agama atau pada eksklusivisme yang menolak realitas perkembangan ilmu.
Dengan memadukan kekuatan intelektual dan kedalaman spiritual, pendekatan pendidikan yang diinspirasi pemikiran Nasr berpotensi melahirkan generasi yang tidak hanya unggul dalam penguasaan pengetahuan, tetapi juga mampu menjadikan ilmu sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, memakmurkan bumi, serta membangun peradaban yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Jika pemikiran ini diimplementasikan secara konsisten, maka Pendidikan Agama Islam dapat memainkan peran strategis dalam membentuk arah peradaban masa depan yang selaras dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Penulis : Puji Roudlotul Adni | Mahasiswa UIN Abdurrahman Wahid
Belum ada Komentar
Posting Komentar