Sekolah Islam: Sekadar Label Marketing atau Integrasi Ilmu dan Akhlak?
Pekalongan Media - Di tengah menjamurnya institusi pendidikan yang menyandang label “Sekolah Islam”, muncul sebuah pertanyaan mendasar: Apakah identitas keislaman hanya terlihat dari atribut lahiriah seperti seragam berkerudung, tambahan jam pelajaran agama, atau kaligrafi di dinding?
Atau justru, keislaman yang sesungguhnya harus menembus cara berpikir (epistemologi), bersikap, dan memandang dunia—termasuk dalam cara mengajarkan matematika, biologi, hingga ekonomi?
Jebakan Simbolisme dalam Pendidikan
Kenyataannya, tidak sedikit lembaga pendidikan yang memperlakukan identitas Islam lebih sebagai strategi pemasaran daripada komitmen pendidikan yang mendalam. Mereka menjanjikan “lingkungan religius” dan “keamanan moral”, tetapi dalam praktiknya masih mempertahankan dikotomi tajam antara ilmu umum dan ilmu agama.
Akibatnya, siswa sering kali:
- Belajar fisika tanpa merenungkan hikmah di balik hukum alam.
- Mempelajari sejarah tanpa mengaitkannya pada pertanyaan etis tentang keadilan dan kekuasaan.
- Menghafal dalil agama tanpa memahami relevansinya dengan tantangan sosial modern.
- Integrasi Ilmu: Menyatukan Sains dan Wahyu
Namun, di balik tren yang cenderung simbolis ini, harapan itu masih ada. Sejumlah sekolah Islam terpadu, pesantren modern, hingga madrasah unggulan mulai berupaya membangun pendidikan yang secara organik menyatukan ilmu dan akhlak.
Sebagai contoh, seorang guru ekonomi di sebuah sekolah Islam tidak hanya berhenti pada penjelasan konsep pasar, inflasi, atau kurva permintaan-penawaran. Ia mengajak siswa menganalisis sistem ekonomi kapitalis melalui kacamata prinsip keadilan dalam Al-Qur’an. Siswa diajak membandingkan bunga bank dengan skema bagi hasil, lalu merancang simulasi usaha kecil berbasis syariah. Bagi mereka, ilmu ekonomi bukan sekadar bekal kompetisi, melainkan sarana mewujudkan kesejahteraan sosial.
Hal serupa terjadi dalam pelajaran biologi. Alih-alih hanya menghafal struktur sel, siswa diajak merenungkan ayat kauniyah:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala penjuru dan pada diri mereka sendiri…” (QS Fushshilat: 53).
Dalam perspektif ini, proses fotosintesis tidak lagi dipahami sebagai reaksi kimia semata, melainkan sebagai cerminan ketergantungan makhluk hidup dan keteraturan (sunnatullah) dalam ciptaan Tuhan.
Akhlak sebagai Fondasi, Bukan Aksesori
Yang membedakan sekolah-sekolah unggulan ini bukanlah jumlah jam pelajaran agamanya, melainkan posisi akhlak dalam keseluruhan proses pendidikan. Akhlak bukan aksesori, melainkan fondasi.
Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan integritas tidak hanya diajarkan secara teoritis di kelas akidah-akhlak, tetapi diintegrasikan dalam:
- Sistem penilaian tugas.
- Proyek kolaboratif antar siswa.
- Sistem ujian yang mengutamakan kepercayaan.
Salah satu praktik menarik adalah penerapan “ujian tanpa pengawas” di beberapa pesantren modern. Siswa diberi kepercayaan penuh untuk mengerjakan soal sendiri. Ini bukan soal angka di rapor, melainkan ujian atas kejujuran—wujud nyata dari takwa yang tak bisa diukur dengan skala numerik semata.
Tantangan Menuju Pendidikan Integratif
Jalan ini jelas tidak mudah. Integrasi ilmu dan akhlak menuntut guru yang tidak hanya cakap secara akademik, tetapi juga memiliki kedalaman filosofis dan spiritual.
Sayangnya, masih banyak pendidik yang terjebak dalam pemisahan kaku: “ini pelajaran agama, itu pelajaran umum.” Belum lagi kurikulum nasional yang terkadang belum sepenuhnya mendukung pendekatan integratif ini.
Namun, sekolah-sekolah yang konsisten menunjukkan bahwa perubahan nyata dimulai dari hal-hal kecil: dari cara guru mengajukan pertanyaan kritis, desain proyek pembelajaran yang solutif, hingga keteladanan sikap yang dipegang teguh.
Mencetak "Rahmatan lil 'Alamin"
Pendidikan Islam yang autentik bukan soal label atau stiker "halal" pada gerbang sekolah. Ini adalah tentang konsistensi membentuk manusia yang cerdas sekaligus beradab.
Pendidikan semacam ini tidak gentar pada sains, karena yakin bahwa setiap penemuan ilmiah adalah ayat Tuhan yang terbaca. Ia juga tidak puas dengan ritual tanpa makna, karena akhlak adalah ujung dari ilmu, sebagaimana nasihat Imam Al-Ghazali: “Ilmu yang tidak mengantarkan pada ketakwaan adalah racun.”
Di tengah banjir informasi namun kelangkaan kebijaksanaan, sekolah Islam memiliki peluang emas. Bukan hanya untuk mencetak lulusan yang pintar, tetapi manusia yang membawa rahmat bagi dirinya, sesamanya, dan alam semesta.
Penulis : Feby Khoirinnisa Wahidah |Mahasiswa Aktif UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
Belum ada Komentar
Posting Komentar